TINDAK PIDANA KORPORASI

BAB I

SEJARAH DAN PENGERTIAN KORPORASI

SEBAGAI SUBYEK HUKUM PIDANA

 

  1. Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Korporasi

Batasan pengertian atau definisi korporasi, erat kaitannya dengan masalah dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan terminologi yang berkaitan erat dengan istilah badan hukum (rechtspersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminology yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.

Soetan K. Malikoel Adil,[1] menguraikan pengertian korporasi secara etimologis. Korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio, maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata corpus (Indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.

Berdasarkan uraian diatas, Satjipto Rahardjo,[2] menyatakan bahwa:

“Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.”

Subekti dan Tjitrosidibio, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Sedangkan Rudi Prasetyo menyatakan:[3]

“Kata korporasi sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.”

Pengertian korporasi sebagai badan hukum juga dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary, yang menyatakan bahwa:

“An entity (usually a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution gives it.”

Pendapat tersebut diperkuat oleh Ronald A. Anderson, Iven Fox dan David P. Twoemey dalam bukunya yang berjudul Business Law, dikatakan bahwa the corporation as a legal person. Selanjutnya dikatakan bahwa:

“A corporation is an artificial legal being, created by government grant and endowed with certain powers. That is the corporation exists in the eyes of the law as a person, separate and distinct from the people who own the corporation.”

Selanjutnya dikatakan bahwa The corporation can sue and be sued in its own name with respecht to corporate rights and liabilities, but the shareholders cannot sue or be used as to those rights and liabilities.

Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, dalam bukunya yang berjudul “Corporate Crime” menulis: “a corporate crime is any act committed by corporations that is punished by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil, or criminal law.[4] Pengertian tersebut diatas akan lebih lengkap dipahami bila dikaitkan dengan keterangan dibawah ini:

Corporate crime is white collar crime; but it is of a particular type. Corporate crime actually is organizational crime occuring in the context of complex relationships and expectations among boards of directors, executives, and managers, on the one hand, and among parent corporations, corporate divisions, and subsidiaries, on the other”.[5]

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kejahatan korporasi merupakan bentuk khusus dari white collar crime, dimana kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisasi. Meskipun demikian, perlu dibedakan antara corporate crime dan occupational crime. Mengenai perbedaan tersebut, Clinard dan Yeager menulis sebagai berikut:

“Corporate crime, on the other hand, is “enacted by collectivities or aggregates of discrete individual; it is hardly comparable to the action of a lone individual”. Corporate an occupational crime can be confused. If a corporate official violates the law in acting for the corporation it is corporate crime, but if he gains personal benefit in the commission of a crime against corporation, as in the case of embelezzlement of corporate funds, it is occupational crime.[6]

Disamping pengertian kejahatan korporasi seperti tersebut diatas, perlu pula dibedakan pengertian crime for corporation, crime against corporation, dan criminal corporations. Crime for corporation merupakan kejahatan korporasi. Crime against corporation sering disebut sebagai employee crimes. Sedangkan yang disebut criminal corporations adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan.[7]

Apabila dilihat dari perkembangan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi, jenis kejahatan ini seringkali digunakan dalam berbagai konteks dan penamaan. Ada yang menggunakan white collar crime, organizational crime, organized crime, business crime, cyndicate crime, dsb.

Dari berbagai penamaan tersebut nampak bahwa kejahatan korporasi sebenarnya bukan merupakan kejahatan yang baru. Dlam kaitannya dengan hal ini J.E. Sahetapy menulis:

“Pelbagai nama, makna, dan ruang lingkup apapun yang hendak diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasarnya dan dalam sifatnya, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang yang baru. Yang baru adalah kemasannya dan bentuknya serta perwujudannya. Sifatnya bolehlah dikatakan secara mendasar adalah sama, bahkan dampaknya yang mencemaskan dan dirasakan merugikan masyarakat sudah dikenal sejak zaman dulu kala.[8]

Setelah memberikan beberapa pengertian tentang kejahatan korporasi, perlu diketahui bahwa terdapat berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Beberapa kasus pencemaran lingkungan, kejahatan perbankan (seperti kasus YKAM, kasus PT. SSAMC), merupakan beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Dalam tulisan ini tidak akan dipaparkan secara mendetail dikarenakan kurangnya bahan (data) yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Masih berkaitan dengan kejahatan korporasi, perlu dikemukakan di sini bahwa kejahatan korporasi tidak hanya mempunyai pengaruh yang bersifat local/regional saja tetapi juga secara internasional/global. Dalam hal ini J.E. Shaetapy menulis sebagai berikut: “dari perspektif terbatas dari apa yang dikemukakan diatas, boleh dikatakan bahwa para kriminolog belum menaruh perhatian yang terlalu serius untuk kejahatan korporasi dalam konteks globalisasi, dan terhadap hal itu, boleh dikatakan secara mutatis mutandis sama juga terhadap para ahli hukum internasional. Jika diperhatikan secara implicit apa yang dimaksudkan oleh Sutherland dengan dampak serta akibat white collar crime dalam suatu dimensi yang lebih luas, maka terlepas dari apakah itu kompetensi hukum pidana internasional, permasalahan perdagangan obat bius (narkotika), penyelundupan, perbudakan dalam bentuk yang baru, pelacuran terselubung, terorisme, pembunuhan missal (genocide), pelanggaran hak-hak asasi manusia baik dalam konteks mental dan spiritual, dan mungkin dapat pula disebut kejahatan perang “lokal”.

Disamping itu,dalam konteks kejahatan korporasi masih ada pula bidang-bidang lain yang masih perlu mendapatkan perhatian seperti pengrusakan lingkungan hidup (ekologi), polusi dalam pelbagai bentuk, di laut dan di udara, pencurian terhadap barang-barang kuno (ertifak), pengrusakan sumber-sumber alam secara tidak bertanggung-jawab dan demikian pula terhadap binatang-binatang langka (perburuan terhadap jenis ikan paus tertentu, manipulasi keuangan secara internasional (melalui dunia perbankan), perdagangan senjata gelap, pelanggaran terhadap perjanjian perdagangan, penyalahgunaan tenaga kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan antar negara, obat-obatan yang berbahaya yang tidak digunakan lagi di dunia Barat dilemparkan di dunia ketiga, demikian pula dengan industry-industri yang dari segi polusi tidak dapat digunakan lagi, dimasukkan secara terselubung di dunia ketiga, pembuangan limbah industry, dan barangkali dilihat dari segi badan hukum public, mendirikan pusat tenaga nuklir untuk keperluan energi secara tidak bertanggung-jawab (ingat, misalnya kasus Chernobyl). Pendeknya, suatu “terra incognita” dan lading luas yang masih perlu dieksplorasi dan dieksploitasi dalam perspektif kejahatan korporasi. Dalam kaitan itulah, maka kriminologi dan viktimologi tentu harus mengandalkan diri pada berbagai disiplin lainnya dalam mengungkapkan – dalam konteks uraian ini – apa yang dinamakan kejahatan korporasi.[9]

Lebih lanjut beliau mengungkapkan permasalahan korupsi antar negara yang dilakukan oleh korporasi raksasa (yang bonafide) dalam usaha menyuap atau melibatkan tokoh birokrat dan atau penguasa di negara yang bersangkutan, tidak kaum politisi, tetapi tokoh atau pribadi yang disegani.[10]

Setelah memaparkan kejahatan korporasi yang mempunyai bentuk sangat luas – tidak hanya nasional/regional – tetapi sudah mencapai internasional atau global serta dapat mempengaruhi orang-orang yang mempunyai orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan berpengaruh, J.E. Sahetapy mengingatkan kita bahwa “kejahatan korporasi ibarat penyakit kanker yang jika tidak tidak ditangani secara dini, akan merusak seluruh kerangka dan struktur serta moralitas dari suatu masyarakat.[11]

  1. Korban Kejahatan Korporasi

Memberikan suatu pengertian atau definisi terhadap korban bukanlah suatu yang mudah, karena pengertian korban dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Demikian pula, pengertian korban tidak hanya berkaitan dengan korban kejahatan saja tetapi juga meliputi korban yang lain. Sebagai suatu pegangan, akan dikemukakan pengertian korban yang diberikan oleh Paul Separovic, sebagai berikut:

“…..those persons who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization or institution) and consequently, a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdeanors, economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an accident, etc.). Suffering may be caused by an other man (man-made victim) or another structure, where people are also involved.[12]

Dari pengertian tersebut, jelas bahwa korban adalah orang yag mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud dengan sesuatu hal disini dapat meliputi perbuatan orang, institusi atau lembaga, dan struktur.

Selanjutnya Separovic menyatakan bahwa yang dapat menjadi korban tidak hanya manusia saja tetapi dapat pula meliputi korporasi, negara, asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum, dan agama.[13]

Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa siapa saja dapat menjadi dan atau menimbulkan korban. Dengan kata lain semua manusia potensial untuk menjadi korban. Sebaliknya pula semua orang dapat menimbulkan korban.

Sejak viktimologi diperkenalkan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya, Wolfgang melalui suatu penelitiannya, mengemukakan bahwa korban turut serta atau berperanan dalam terjadinya suatu kejahatan.

Dalam kaitannya dengan korban kejahatan korporasi, Clinard dan Yeager menyatakan: “except in such crimes as fraud, the victim of ordinary crime knows that he or she has been victimized. Victims of corporate crimes, on the other hand, are often unaware that they have been taken.[14] Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa korban kejahatan korporasi tidak merasa/menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban. Suatu pertanyaan akan muncul; mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa ada korban yang tidak merasa bahwa dirinya telah menjadi korban? Erat pula berkaitan dengan pertanyaan tersebut adalah: kalau keadaannya demikian bagaimana mungkin korban kejahatan korporasi bisa diketahui?

Dari pernyataan Clinard dan Yeager bahwa korban kejahatan korporasi tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban, dapat diketahui bahwa korban kejahatan korporasi akan sulit diketahui. Ini berarti pula terdapat suatu kesulitan untuk mengetahui apakah telah terdapat suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. Dalam kepustakaan kriminologi, sulitnya mengetahui kejahatan tidak hanya dibidang kejahatan korporasi saja tetapi juga meliputi semua jenis kejahatan. Hal ini disebabkan banyaknya kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi, yang tidak dilaporkan oleh korban kepada polisi. Menurut Steven Box, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan korban tidak mau melaporkan kejahatan yang telah dialaminya. Faktor-faktor tersebut adalah:

  • Korban mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban, tetapi tidak bersedia melapor karena:
  1. Menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan memperdulikan laporannya;
  2. Menganggap peristiwa tersebut merupakan “urusan pribadi” karena:
  • Akan menyelesaikan langsung di luar pengadilan dengan si pelaku (extra yudisil);
  • Merasa malu dan tidak bersedia menjadi saksi di Kepolisian dan Pengadilan (miisalnya kejahatan kesusilaan dan penipuan);
  • Korban tidak mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban dari suatu perbuatan pidana. Misalnya dalam penipuan atau penggelapan yang dilakukan secara halus;
  • Korban yang sifatnya abstrak (abstract victim). Oleh karena itu sulit menentukan secara khusus dan jelas. Misalnya konsumen yang tertipu;
  • Menjadi korban kejahatan karena dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan. Misalnya korban kejahatan narkotika, abortus;
  • Secara resmi tidak terjadi korban karena kewenangan (diskresi) polisi untuk menentukan peristiwa apa dan mana yang merupakan kejahatan (hal ini menyangkut kebijakan dan penegakan hukum).[15]

Bila dikaitkan dengan korban kejahatan korporasi, dimana korban tidak merasa bahwa dirinya talah menjadi korban, maka dapat dikatakan bahwa korban kejahatan korporasi merupakann “abstract victim”.

Kondisi ketidaktahuan korban ditambah adanya kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengungkap adanya kejahatan korporasi, merupakan situasi yang menguntungkan bagi korporasi dalam melestarikan perilaku negatifnya. Dalam media massa sering disajikan berita tentang pencemaran lingkungan (air, udara, dsb) yang dilakukan oleh pabrik. Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kadar pencemaran dan korban pun telah dapat diidentifikasi. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Pencemaran tetap merupakan pencemaran, dan pabrik serta industri tetap berdiri dengan megah seolah berkata “kejarlah daku kau tak bisa menangkap”. Untuk melengkapi uraian diatas, beberapa laporan dari media massa perlu dikemukakan di sini. “Gresik Bukan Minamata Bung!”[16] Uraian Kompas tersebut merupakan peringatan bagi kita jangan sampai Gresik menjadi Minamata. Berita itu menjadi lengkap dengan diturunkannya laporan “Gangguan Paru dan Keguguran Janin Akibat Polusi”.[17] Pencemaran tidak hanya terjadi di Gresik. Di beberapa kota juga terjadi pencemaran: “Sampah Masih Menyatu dengan Kali Ciliwung”:[18] Di sepanjang Kali Brantas, 86 persen Industri Lampaui Ambang Batas Pencemaran”;[19] “Penduduk Bekasi Resah Tercemar Pabrik Tekstil”;[20] Pencemaran Kali Citarum Melampui Ambang Batas”;[21] “Polusi Pabrik di Tangerang Makin Khawatirkan Penduduk”[22]

Dibidang perbankan pun tak kalah serunya. Setelah kasus YKAM yang cukup menghebohkan masyarakat, ada beberapa contoh kasus yang cukup meresahkan, yang dimuat dalam media massa. “Mantan Dirut perusahaan Money Changer PT Gunung Sion” yang berhasil membawa lari uang nasabahnya sebesar Rp 30 miliar[23]; Dirut PT Bank Pasar Gunung Palasari, Anthony Yuwono, melarikan uang nasabahnya sebesar Rp 16 miliar, dengan cara pura-pura kalah kliring[24]; Dirut PT Telagamas Murni Benghar, Kosim Wahab, membawa kabur uang nasabahnya sebesar Rp 17 miliar[25]; Dirut PT Makmur Jaya Motor berhasil membawa kabur uang sebesar Rp 8 miliar melalui perusahaan fiktif.[26]

Dari pemberitaan di media massa dapat diketahui bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, baik dilihat dari segi kriminologi maupun viktimologi. Seriusnya kejahatan korporasi dinyatakan pula oleh Clinard dan Yeager: “The Public today regards white collar and corporate crime as serious offenses – in fact, as equal to, and even more serious than, many “ordinary crime”, such as burglary and robbery”.[27] Berbeda dengan pernyataan tersebut, James Q. Wilson berpendapat “predatory street crime to be a far more serious matter than consumer fraud, anti-trust violation etc ….. because predatory crime ….. makes difficult or impossible the maintenance of meaningful human communities”.[28] Pernyataan Wilson tersebut ternyata tidak didukung oleh data yang menunjukkan perbedaan keseriusan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional. Kejahatan korporasi tidak hanya menimbulkan kerugian dalam bentuk lain. Kasus Minamata, merupakan contoh kasus yang tidak perlu terulang, dimanapun, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini Clinard dan Yeager menulis: “corporate crime have other serious effects in that they negatively effects the moral climate of American Society”.[29] Bagaimana dengan di Indonesia?

Bagaimanapun aspek negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, yang jelas kejahatan korporasi memang sulit untuk dibuktikan. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa kendala yang dihadapi dalam mengungkap kejahatan tersebut. Pertama, yaitu kurang pengalaman dan pendidikan yang memadai dari kriminolog bertalian dengan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.. Disamping itu, permasalahan yang dihadapi bercampur aduk dengan suatu kompleksitas ekonomi dan politik, dimana para kriminolog belum berpengalaman sebelumnya. Kedua, adanya kesulitan untuk memperoleh data, bukan saja dari korporasi yang bersangkutan tetapi juga dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengawasan terhadap permasalahan (kejahatan) korporasi. Sebagai kendala yang terakhir adalah terbatasnya sumber dana untuk suatupenelitian dalam bidang ini. Akhir-akhir ini, kendala yang ketiga sudah dapat diatasi dengan adanya Law Enforcement Assistence Administration of The Departement of Justice.[30]

Kembali kepada kondisi korban kejahatan korporasi yang tidak merasa telah menjadi korban. Bagaimana, mengungkap telah terjadi suatu viktimisasi oleh korporasi? Penelitian!! Penelitian dengan menggunakan teknik: data dari pengadilan (court records), obsevasi, dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terbuka (open-ended interview), pada masa sekarang dianggap mampu mengungkap adanya kejahatan korporasi. Sedangkan untuk mengungkap adanya korban dapat dilakukan dengan cara “victimization surveys” dan “self reported crime”.[31] Tetapi untuk mengetahui korban kejahatan korporasi, kedua cara tersebut masih diragukan kehandalannya. Mengapa? Karena korban kejahatan korporasi tidak merasa bahwa dirinya telah menjadi korban. Korban baru dapat diidentifikasi bila kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat diungkap terlebih dahulu atau korban merasakan kerugian materiil.

Ronald A. Anderson, Ivan Fox dan David P. Twomey, menggolongkan korporasi didasarkan kepada:

  1. Hubungannya dengan publik;
  2. Sumber kekuasaan dari korporasi tersebut;
  3. Sifat aktivitas dari korporasi.

Dari penggolongan tersebut yang dikenal di negara Anglo Saxon, maka jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Korporasi Publik adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi dibidang urusan publik. Contohnya di Indonesia seperti pemerintahan kabupaten atau kota.
  2. Korporasi Privat adalah sebuah korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/pribadi, yang dapat bergerak dibidang keuangan, industri dan perdagangan. Korporasi Privat ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat, maka penyebutannya ditambah dengan istilah public. Contoh di Indonesia PT. Garuda Tbk., Tbk. (terbuka) menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah go public atau sahamnya perusahaan telah dijual kepada masyarakat melalui bursa saham. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 21 dikatakan bahwa Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurangnya-sekurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
  3. Korporasi Publik Quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public serices). Contohnya di Indonesia adalah PT. Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, Perusahaan Air Minum.

Korporasi sebagai badan hukum keperdataan di Indonesia dapat dirinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu:[32]

  1. Korporasi egoistis yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama kepentingan harta kekyaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Sekerja;
  2. Korporasi yang altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, tuna rungu, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat, Taman Siswa, Muhammdiyah dan sebagainya.

I.S. Susanto,[33] mengemukakan secara umum korporasi memiliki lima cirri penting yaitu:

  1. Merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus.
  2. Memiliki jangka waktu hidup yang terbatas.
  3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
  4. Dimiliki oleh pemegang saham.
  5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.

Badan hukum (rechtspersoon, legal persons, persona moralis, legal entity) adalah subyek hukum. Subyek hukum Sudikno Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak kewajiban, sebagai subyek hukum atau sebagai orang. Bahkan janin yang masih ada dalam kandungan seorang wanita dalam berbagai tatanan hukum modern, sudah dipandang sebagai subyek hukum sepanjang kepentingannya memerlukan pengakuan dan perlindungan hukum.[34]

Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusia itu disebut badan hukum (legal person). Jadi, badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut subyek hukum lain di muka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah:

  • Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
  • Memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
  • Memiliki tujuan tertentu;
  • Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam aryi keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.[35]

Badan hukum dapat pula dibedakan atas 2 (dua) jenis, yakni:

  • Badan hukum publik;
  • Badan hukum privat.

Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam:

  • Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh pemerintah/negara.
  • Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum public. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.[36]

Badan hukum publik misalnya: Negara Republik Indonesia, Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan badan hukum privat misalnya Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 1 Tahun 1995), Yayasan (Undang-Undang No. 16 Tahun 2001) dan sebagainya. Pada saat sekarang empat Perguruan Tinggi Negeri yaitu, Universitas Indonesia (UI) (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000), Universitas Gadjah Mada (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000), Institut Pertanian Bogor (IPB) (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 154 Tahun 2000), Institut Teknologi Bandung (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 155 Tahun 2000), mempunyai status Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Berdasarakan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum antara lain didasarkan kepada pertimbangan bahwa Perguruan Tinggi Negeri telah memiliki kemampuan otonomi, dan tanggungjawab yang lebih besar.[37]

Pengertian korporasi dalam hukum perdata berdasarkan uraian sebelumnya ternyata dibatasi, sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian korporasi dalam hukum pidana ternyata lebih luas. Di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subyek tindak pidana terjadi di luar Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang-undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subyek tindak pidana berupa “orang” (lihat Pasal 59 KUHP). Sedangkan subyek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korporasi, Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Pasal 1 angka 2, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang pada intinya mengatakan: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”[38]

Ketentuan yang hampir sana juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15 ayat (1), menyatakan bahwa: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka…dan seterusnya.”

Rumusan tersebut juga ditemukan dalam Pasal 51 W.v.S. (KUHP Belanda), yang telah diperbaharui pada tahun 1976. Adapun bunyinya adalah:

  • Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
  • Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:
  1. Badan hukum atau;
  2. Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau;
  3. Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama;
  • Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseoran tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.[39]

Sehubungan dengan perubahan KUHP Belanda pada tanggal 1 September tahun 1976, khususnya yang menyangkut isi rumusan Pasal 51 W.v.S. (Pasal 59 KUHP Indonesia), Andi Hamzah menyatakan:

“Sudah jelas, jika korporasi menjadi subjek, pidana yang dapat dijatuhkan tentulah bukan pidana penjara melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain. Oleh karena itu NW.v.S. (KUHP Baru Belanda, penulis) pun diubah yang menentukan bahwa semua delik didalam NW.v.S. ada ancaman pidana denda sebagai alternatif, walaupun tidak dapat dibayangkan bahwa pembunuhan terhadap raja dapat dipidana denda. Mungkin pembuat revisi NW.v.S. mendapat kesulitan untuk memilah-milah delik apa sajakah yang dapat dilakukan oleh korporasi dan delik apa yang tidak mungkin dilakukan. Jelas, tidak mungkin korporasi melakukan delik perkosaan atau penganiayaan. Oleh karena itu, rupanya pembuat ketentuan korporasi menjadi subjek delik didalam NW.v.S. diserahkan kepada praktek, delik mana saja yang korporasi dapat menjadi subjek, seperti Pasal 127 KUHP tentang leveransir tentara yang melakukan perbuatan curang. Begitu pula Pasal 387 dan 388 yang menyangkut pemborong yang melakukan perbuatan curang yang dapat mengakibatkan bahaya bagi keselamatan orang atau benda atau negara dalam keadaan perang. Begitu pula leveransir tentara yang melakukan perbuatan curang yang dapat mendatangkan bahaya bagi negara dalam keadaan perang. Bukanlah pemborong atau leveransir besar-besaran itu berupa korporasi?”[40]

Konsekuensi logis tentang kedudukan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan terdapat beberapa pengecualian. Sehubungan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:

  • Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigamy, perkosaan, sumpah palsu.
  • Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi missal pidana penjara atau pidana mati.[41]

Konsekuensi logis lainnya yaitu apabila korporasi diartikan luas yaitu mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan non badan hukum, seperti yang dianut di Belanda dan di Indonesia (dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP). Maka secara teoritis dapat melakukan semua tindak pidana, walaupun dalam proses penegakan hukumnya dilandaskan kepada praktek, seperti yang terjadi di negeri Belanda.

BAB II

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KORPORASI

SEBAGAI SUBYEK TINDAK PIDANA

 

Tahap-Tahap perkembangan korporasi sebagai subyek tindak pidana, yang akhirnya memberikan pengakuan pada pemidanaan korporasi (tanggungjawab pidana korporasi), secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga tahap.

  1. Tahap Pertama

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Apabila suatu tindak pidana terjadi didalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.

Tahap ini, sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr Ned (Pasal 59 KUHP). Adapun bunyi pasal tersebut adalah:

“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

Pada tahap pertama ini, pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab. Dalam Pasal 59 KUHP apabila dikaji memuat alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsrond), dilihat dari bunyi rumusan yang menyatakan “maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.

Kesulitan yang dapat timbul dengan Pasal 59 KUHP, adalah sehubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau seorang pengusaha. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan tentang kedudukan korporasi sebagai subyek tindak pidana pada tahap kedua.[42]

 

  1. Tahap Kedua

Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Peran Dunia I dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus untuk ini yaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.

Dalam tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.

Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung masih belum muncul. Contoh peraturan perundang-undangan dalam tahap ini:

  1. Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951; LN. 1951-78 tentang Senjata Api.

Pasal 4 ayat (1) : “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.”

Ayat (2) : “Ketentuan pada ayat (1) di muka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.”

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan.

Pasal 46 ayat (2) : “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseoran terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-keduanya.”[43]

 

 

  1. Tahap Ketiga

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia Kedua. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang bersangkutan.

Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat (1) :

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”

Hal serupa dapat ditentukan pula dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, Pasal 19 ayat (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perumusan diatas menyatakan, yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan.korporasi itu sendiri. Dalam tahap ketiga ini peraturan perundang-undnagan di Indonesia yang mencantumkan tanggungjawab langsung dari korporasi hanya terbatas dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP. Pada mulanya di Belanda juga sama kondisi pengaturan tentang subyek tindak pidana korporasi. Akan tetapi setelah dikeluarkannya Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 maka redaksi Pasal 51 W.v.S. Belanda (Pasal 59 KUHP Indonesia) mengalami perubahan, sehingga dewasa ini di Negeri Belanda sudah dianut subyek tindak pidana korporasi dalam hukum pidana umum (commune strafrecht).

Tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subyek tindak pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Negeri Belanda. Pada tahap pertama didalam KUHP Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan Pasal 59 KUHP Indonesia. Hal tersebut karena pengaruh yang kuat dari asas universitas delinquere non potest, yang menekankan sifat delik yang dapat dilakukan korporasi terbatas pada perorangan.

Pada tahap kedua baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi, atau korporasi sebagai subyek tindak pidana. Akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum muncul, sehingga dalam hal ini yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurus korporasi.

Tahap ketiga ternyata di Negeri Belanda maupun di Indoensia pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subyek tindak pidana secara langsung sudah dikenal. Di Negeri Belanda perkembangan pertanggungjawaban pidana secara langsung pada awalnya terdapat dalam perundang-undangan khusus diluar W.v.S. Seperti yang terdapat dalam Pasal 15 Wet op de Economische Delicten tahun 1950. Pasal 2 Rijksbelasting Wet, tahun 1959. Perkembangan tersebut juga diikuti di Indonesia dalam Pasal 15 Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.[44]

BAB III

Karakteristik Tindak Pidana Korporasi

Pembicaraan mengenai kejahatan korporasi tidak akan pernah dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai white collar crime (kejahatan kerah putih). Istilah white collar crime diungkapkan pertama kali pada tahun 1939 oleh kriminolog Edwin H. Sutherland dalam suatu presidential addres dihadapan American Sociological untuk menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam kaitannya dengan okupasinya.

Secara umum white collar crime, dapat dikelompokkan dalam:

  1. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya seperti dokter, notaris pengacara, dan sebagainya;
  2. Kejahatan-kejatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya seperti korupsi dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang lain seperti pelanggaran terhadap hak-hak warga negara;
  3. Kejahatan korporasi.

White collar crime, sebagaimana diungkapkan oleh Muladi, dapat bersifat individual dan kolektif. White collar crime yang bersifat kolektif dapat berupa kejahatan yang terorganisir (organized crimes) maupun kejahatan korporasi (corporate crimes). Selain itu perlu pula dibedakan antara kejahatan-kejahatan yang merugikan organisasi (white collar crime against organization) dan kejahatan yang dilakukan oleh organisasi (white collar crime by organization). Dengan demikian pada dasarnya ada perbedaan antara kejahatan okupasional (occupational crimes) yang berarti kejahatan yang dilakukan oleh individu untuk kepentingan sendiri dalam kaitannya dengan jabatan dan kejahatan lain oleh karyawan yang merugikan majikan, dengan kejahatan korporasi (corporate crime) yang merupakan perilaku korporasi yang tidak sah dalam bentuk pelanggaran hukum kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi.[45]

Menurut I.S. Susanto, kejahatan korporasi adalah tindakan-tindakan korporasi yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi, yang berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of power) seperti produk-produk industri yang membahayakan kesehatan dan jiwa, penipuan terhadap konsumen, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, iklan-iklan yang menyesatkan, pencemaran lingkungan, manipulasi pajak.[46]

Selanjutnya secara konsepsual, kejahatan yang menyangkut korporasi perlu dibedakan antara:

  1. Kejahatan korporasi, yaitu yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melanggar hukum;
  2. Korporasi jahat, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan (dalam hal ini korporasi hanya dipakai sebagai alat atau kedok untuk melakukan kejahatan);
  3. Kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan terhadap milik korporasi, disini yang menjadi korban justru korporasi itu sendiri.

Jenis kejahatan tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup pandai (intellectual criminal), maka pengungkapan terhadap kejahatan-kejahatan yang terkait tidak mudah. Apalagi bilamana dikaji karakteristiknya sebagai berikut:[47]

  1. Kejahatan korporasi sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh pekerjaan rutin.
  2. Kejahatan tersebut sangat komplek (complexity), karena berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan sesuatu yang alamiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasi, melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun.
  3. Terjadinya penyebaran tanggung-jawab (diffusion of responsibility) yang semakin bias akibat kompleksitas organisasi.
  4. Penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization) seperti polusi, penipuan konsumen dan lain-lain.
  5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (difficult to detection and to prosecute) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
  6. Peraturan yang tidak jelas (ambigious laws) yang seringkali menimbulkan keraguan dalam penegakan hukum.
  7. Sanksi yang lemah (lenient sanction), karena sanksi yang dikenal berorientasi pada pelaku manusia alamiah.
  8. Ambiguitas dalam status pelaku kejahatan (ambigious criminal status).

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

DALAM HUKUM PIDANA

Tindak pidana itu berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana, Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.[48]

Pertanggungjwaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.[49]

Menurut Sudarto,[50] bahwa: “disamping kemampuan bertanggung-jawab kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederrechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya si pembuat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. Ada suatu tindak pidana dilakukan oleh pembuat;
  2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
  3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung-jawab;
  4. Tidak ada alasan pemaaf.

Berdasarkan hal tersebut diatas Sudarto,[51] juga menyatakan hal yang sama dikatakan, bahwa: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan yang eksplisit seperti diatas juga belum pernah ada dalam konsep-konsep (beliau menggunakan istilah konsep untuk Rancangan KUHP, penulis) sebelumnya (Konsep 1964, 1968, dan 1971/1972).

Dalam Rancangan KUHP juga dimungkinkankan “dalam hal tertentu seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang” (lihat Pasal 32 ayat (2) RKUHP). Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalamaan asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung-jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.[52]

Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas “vicarious liability”. Sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti.”

Pengecualian lainnya terhadap asas kesalahan dapat juga ditemukan dalam Pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP 1999-2000. Pasal tersebut menyatakan: “untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”

Asas yang terdapat dalam ketentuan diatas dikenal dengan nama asas strict liability, yang sering diartikan secara singkat “liability without fault” (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).

Mardjono Reksodiputro,[53] sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subyek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader). Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi ini. Asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Bagaimanakah harus dikonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi? Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatannya yang melawan hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Perbuatan melawan hukum ini dilakukan oleh suatu korporasi. Ini sekarang telah dimungkinkan. Tetapi bagaimana mempertimbangkan tentang pertanggungjawabannya? Dapatkah dibayangkan pada korporasi terdapat unsure kesalahan (baik kesengajaaan atau dolus ataupun kelalaian atau culpa)? Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dan karena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana hanya dengan pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi?

Sedangkan, mengenai perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP, Muladi[54] mengatakan bahwa:

“Pemidanaan korporasi dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat dan tindak masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan subjektif. Dalam hal ini strict (absolute) liability yang meninggalkan azas mens rea merupakan refleksi cenderung untuk menjaga keseimbangan sosial kepentingan sosial.”

BAB V

MASALAH KESALAHAN KORPORASI

Pemikiran tentang kesalahan (schuld) sangat erat hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan manusia alamiah. Hal ini karena dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dilihat dari sudut perbuatannya dan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.[55]

Disini berlaku apa yang disebut asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Asas ini tidak ada dalam KUHP atau dalam peraturan lain namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.

Asas kesalahan (geen straf zonder schuld) merupakan asas yang fundamental dalam pemidanaan. Meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tidak selalu dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi pidana apabila orang itu mempunyai kesalahan atau dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Kapan orang (pelaku atau pembuat) itu dikatakan mempunyai kesalahan? Mengenai hal ini Sudarto[56] menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan terdiri dari:

  1. Pertama, adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal;
  2. Kedua, hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kesalahan;
  3. Ketiga, tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Untuk memahami persoalan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidananya, amak akan dikemukakan tabel seperti berikut ini:

No. Tindak Pidana

(Syarat Objektif)

No. Pertanggungjawaban Pidana Kesalahan

(Syarat subjektif)

1. Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang 1. Kemampuan bertanggung-jawab
2. Sifat melawan hukum 2. Kesengajaan atau kealpaan
3. Tidak ada alasan pembenar 3. Tidak ada alasan pemaaf

Khusus masalah kesalahan korporasi atau pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi akan dibahas tiga unsur kesalahan (syarat subjektif) tersebut dimuka. Namun sbeelum membahas hal tersebut kita perlu menjawab persoalan, bagaimanakah pengaruh asas kesalahan ini apabila korporasi dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana? Mengenai hal ini Suprapto[57] berpendapat bahwa “korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat perlengkapannya. Kesalahan itu bukan individual akan tetapi kolektif karena korporasi menerima keuntungan.” Sedangkan Van Bemmelen dan Remmelink[58] berpendapat bahwa “korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi kesalahan pengurus atau anggota direksi.” Dari pendapat Suprapto, Van Bemmelen dan Remmelink tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mempertanggungjawabkan korporasi, asas tidak ada pidana tanpa kesalahan tetap tidak ditinggalkan.

Dari berbagai pendapat tersebut diatas, terdapat kecenderungan bahwa dalam mempertanggungjawabkan korporasi, asas geen straf zonder schuld tidak mutlak berlaku, karena realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi maupun biaya sosial (social cost). Disamping itu yang menjadi korban tidak hanya orang –perseorangan melainkan juga masyarakat dan negara.

  1. Masalah Kemampuan Bertanggung-jawab Korporasi

Kemampuan bertanggung-jawab merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggunjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab? Dalam KUHP tidak terdapat pengertian tentang hal ini. Namun dalam literature hukum pidana ditemui beberapa pendapat tentang hal ini.

Simons mengatakan “kemampuan bertanggung-jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya.” Dikatakan selanjutnya bahwa seseorang mampu bertanggung-jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila: (a) ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; dan (b) ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.[59]

Menurut Van Hamel, “kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan, yakni: (a) mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri; (b) mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan; (c) mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.[60]

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung-jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana, muncul pertanyaan, untuk mempertanggungjawabkan korporasi, apakah diperlukan kemampuan bertanggung-jawab? Apakah kriteria untuk menentukan kemampuan bertanggung-jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana? Nmapaknya merupakan hal yang tidak mudah mencari dasar kemampuan bertanggung-jawab korporasi, Karen akorporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon). Namun demikian, persoalan tersebut dapat apabila kita menerima konsep kepelakuan fungsional (functioneel daderschap).

Menurut Wolter, kepelakuan fungsional (functioneel daderschap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat. Ciri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain. Sedangkan untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tahap:[61]

  1. Pertama, kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang-undang.
  2. Kedua, pribadi yang manakah dalam kasus pidana ini yang dapat menjalankanatau melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah menetapkan bahwa dengan penjelasan yang wajar secara harfiah (normale, letterlijk uitleg) ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tentang hal ini, Sahetapy mengemukakan dalam proses interpretasi fungsional akan ditemukan pelaku fisik, namun diputuskan bahwa undang-undang pidana tidak memaksudkan mereka.
  3. Dalam tahap ketiga, diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih (wettig bewijs), ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Apabila kita menerima konsep funtioneel daderschap, maka kemampuan bertanggung-jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan bertanggung-jawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggung-jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.

  1. Masalah Kesengajaan dan Kealpaan Korporasi

Unsur kedua dari pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya. Hubungan batin ini berupa kesengajaan dan kealpaan. KUHP kita tidak memberikan pengertian atau definisi tentang kesengajaan dan kealpaan. Namun kita dapat menemui pengertian dua hal tersebut dalam Memorie van Toelichting (M.v.T).

M.v.T. mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai ‘menghendaki’ dan ‘mengetahui’ (willens end wetens). Jadi dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misalnya, seorang ibu yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya tersebut.[62]

Sedangkan kealpaan dalam M.v.T. dijelaskan bahwa pada umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Disini sikap batin dari orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya ada dalam batinnya sewaktu ia berbuat, sehingga menimbulkan hal yang dilarang itu. Jadi bukanlah semata-mata menentang larangan tersebut dengan (justru) melakukan yang dilarang itu, tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan. Dia lalai dalam melakukan perbuatan tersebut, sebab jika ia cukup mengindahkan adanya larangan waktu melakukan perbuatan yang secara objektif-kausal menimbulkan hal yang dilarang, dia tentu tidak alpa atau kurang hati-hati, agar jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang dilarang tadi.[63]

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pidana korporasi, Schaffmeister menanyakan apabila suatu badan hukum (korporasi) dituntut, bagaimanakah badan hukum yang tidak mempunyai jiwa manusia menselijke psychis dapat memenhi unsure psikis (de psychische bestanddelen) yaitu kesengajaan (opzet) dan kealpaan (culpa)? Hal ini memang merupakan hal sulit, namun dapat dijelaskan bahwa kesengajaan itu terdapat dalam politik perusahaan atau berada dalam keadaan nyata dari suatu perusahaan tertentu.[64] Toringa menjelaskan bahwa kesengajaan dan kealpaan harus dilihat dalam suasana kejiwaan (psychisch klimaat). Misalnya dalam perseroan tertutup dengan pimpinan kembar yang didirikan untuk melakukan kekacauan (ingat criminal corporations), atau pemikiran perusahaan pengangkutan bahwa perusahaan tidak dapat berjalan tanpa melanggar undang-undang pada saat menggunakan kendaraannya.[65]

Sehubungan dengan pertanggungjawaban korporasi ini – khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi – Muladi mengajukan dua persoalan yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Pertama, apakah ukuran-ukuran yang dapat dijadikan pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi? Hal ini dapat dipecahkan dengan melihat apakah tindakan para pengurus tersebut dalam kerangka tujuan statutair dari korporasi dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan (bedrijspolitiek). Bahkan sebenarnya cukup untuk melihat apabila tindakan itu sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan (feitelijke werzaambeden) dari korporasi. Kepelakuan korporasi tidak akan diterima dengan mudah, apabila tindakan tersebut dalam pergaulan masyarakat tidak dipandang sebagai pelaku korporasi.
  2. Kedua, bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi? Dalam hal menyangkut masalah kejiwaan atau sikap batin ini, yang dapat dilakukan adalah melihat apakah melihat apakah kesengajaan bertindak para pengurus pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Jadi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan (psychisch klimaat) yang berlaku pada korporasi tersebut. Jadi konstruksi pertanggungjawaban (toerekeningsconstructie) kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang bertindak atas nama korporasi bisa menimbulkan kesengajaan korporasi tersebut.
  1. Masalah Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf merupakan salah satu alasan penghapus pidana (strauitsluitings grand). Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, alasan penghapus pidana dibedakan menjadi alasan pembenar (rechtvaardigings grond) dan alasan pemaaf (schuld uitsluitings gorond). Pembedaan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum pidana yang membedakan dapat dipidananya perbuatan (straf baarheid van het feit) dengan dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan (straf baarheid van der persoon).

Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Alasan pembenar yag terdapat dalam KUHP adalah pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1)). Sedangkan alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelakunya, yaitu tak mampu bertanggung-jawab (Pasal 44 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), dan dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

Berhubungan dengan korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, apakah alasan penghapus pidana khususnya alasan-alasan pemaaf sebagaimana disebut dimuka juga berlaku terhadap korporasi? Sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi, maka seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon), korporasi juga harus menunjuk dasar adanya alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf). Hanya saja, alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang ketidakmampuan bertanggung-jawab karena cacat dalam tubuhnya dan atau jiwanya terganggu karena penyakit, dan juga alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan yang melampaui batas nampaknya sulit untuk mencari dasar sebagai alasan pemaaf bagi korporasi. Sebab kedua alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia. Oleh Karen aitu alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf) korporasi harus dicari pada korporasi itu sendiri.[66]

Berdasarkan pemahaman pendapat tentang alasan pemaaf korporasi tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pertama, dalam menilai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, ternyata alasan-alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf) tetap berlaku terhadap korporasi, dengan mendasarkan pada ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid van alle schuld).
  2. Kedua, alasan-alasan pemaaf yang lain, seperti daya paksa (overmacht)tidak selalu bisa diambilkan dari alasan pemaaf natuurlijk persoon yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, akan tetapi harus dicari sesuai dengan sifat kemandirian (persoonlijk) korporasi yang bersangkutan. Dalam suatu kasus (keadaan) tertentu korporasi dapat mengambil alih alasan pemaaf dari natuurlijk persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, tetapi dalam kasus (keadaaan) yang lain korporasi tidak dapat mengambil alih alasan pemaaf dari natuurlijk persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
  3. Ketiga, alasan pemaaf yang berupa ketidakmampuan bertanggung-jawab yang diatur dalam Pasal 44 KUHP dan pembelaan terpaksa (darurat) yang melampui batas sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tidak bisa diambil alih menjadi alasan pemaaf korporasi, karena kedua jenis alasan pemaaf ini mensyaratkan keadaan jiwa tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.

BAB VI

TEORI-TEORI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

DALAM HUKUM PIDANA

  1. Doktrin Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.[67] Doktrin ini juga dikenal dengan nama The Identification doctrine atau doktrin identifikasi.

Secara harfiah suatu tindak pudana menurut common law atau menurut penal statute tidak dapat diterapkan terhaap suatu perusahaan. Misalnya, tindak pidana tersebut memerlukan mens rea. Maka hakim telah mengembangkan suatu sarana untuk mengaitkan pikiran dengan badan hukum ini, membenarkan pendapat bahwa perusahaan itu secara pidana bertanggung-jawab dalam perkara semacam itu. Mereka telah berbuat demikian berdasarkan “doktrin identifikasi”. Karena perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, maka ia hanya dapat bertindak melalui agennya. Menurut doktrin identifikasi, agen tertentu dalam sebuah perusahaan dianggap sebgaia directing mind atau alter ego. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan perusahaan. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan itu, maka mens rea para individu merupakan mens rea perusahaan itu.[68]

  1. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)

Dalam membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi juga dikenal sistem pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liability is one where in one person, though without personal fault, is more liable for the conduct of another).[69]

Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan pertanggungjwaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban demikian hampir semuanya ditujukan pada delik undang-undang (statutory offences), dan dasarnya adalah maksud pembuat undang-undang (sebagaimana dapat dibaca dari ketentuan didalamnya) bahwa delik ini dapat dilakukan baik secara vicarious maupun secara langsung. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengani hal ini. Salah satunya adalah employment principle.[70]

  1. Doktrin Pertanggungjawaban yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability)

Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggung-jawab berdasarkan kepada adanya unsure kesalahan (liability on fault or negligence atau fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung-jawab mutlak no fault liability atau absolute/strict liability yang berlaku pada jaman masyarakat primitive. Pada masa itu berlaku suatu rumus (formula): a man acts at his peril yang berarti bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseornag, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan lain, seseorang bertanggung-jawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.[71]

Menurut E. Sefullah Wiradipradja, tentang masalah prinsip tanggung-jawab mutlak menyatakan: “prinsip tanggung-jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) didalam kepustakaan biasnaya dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability. Dengan prinsip tanggung-jawab mutlak diamksudkan tanggung-jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung-jawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak”.[72]

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sering dipersoalkan apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat:[73]

  1. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.
  2. Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana

Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability nampak jelas bahwa persamaan dan perbedaan. Persamaan yang nampak bahwa baik strict liability crimes maupun strict liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya terletak pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung.[74]

BAB VII

MODEL-MODEL PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

DALAM HUKUM PIDANA

Berkaitan dengan kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidan korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:

  1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung-jawab;
  2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung-jawab;
  3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung-jawab.
  1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah yang Bertanggung-Jawab

Teori fiksi sendiri berasal dari von Savigny berpendapat “badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.[75] Teori fiksi (fiction theory) disebut juga teori kesatuan semu (artificial entity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, dan dianggap oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum (creatur of law).[76]

Atas dasar pengaruh dari teori tersebut diatas, yang mempengaruhi KUHP Indonesia yang juga merupakan warisan Belanda, bahwa subyek tindak pidana yang dikenal hanya manusia. Apabila dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung-jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.[77]

Didalam KUHP, sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 169 KUHP, turut serta dalam perkumpulan yang terlarang, Pasal 398 KUHP dan Pasal 399 KUHP; tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris Perseroan Terbatas dan sebagainya yang dala keaadaan pailit merugikan perseroannya.

Untuk memperjela contoh tersebut diatas, dapat dikemukakan bunyi ketentuan Pasal 169 KUHP:

  • Turut serta perkumpulan yang tujuannya melakukan kejahatan, atau turut serta perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
  • Turut serta perkumpulan yang tujuannya melakukan pelanggaran, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (denda dikalikan lima belas berdasarkan UU No. 18/Prp/1960).
  • Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 392 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Pasal 392 KUHP, berbunyi:

“Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”

  1. Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus Bertanggung-jawab

Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung-jawab, maka dtegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung-jawab; yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindka pidana yang dilakukan oleh seorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung-jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Untuk hal tersebut Roeslan Saleh[78] setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja:

  1. Undang-Undang No. 12/Drt/1951, LN. 1951-78, tentang Senjata Api

Pasal 4 ayat (1): “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.”

Ayat (2): “Ketentuan pada ayat (1) dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.”

  1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Pasal 46 ayat (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.”

Ketentuan serupa dapat pula ditemukan dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, tentang berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 No. 12 dari R.I. untuk Seluruh Indonesia, Pasal 30, Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 dari R.I. untuk Seluruh Indonesia, Pasal 34, Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.[79]

  1. Korporasi sebagai Pembuat dan juga sebagai yang Bertanggungjawab

Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung-jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu, diterapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingan-saingannya, keuntungan dan atau kerugian-kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan repressi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, dan pengurus atau pengurus saja.

Apabila ditelaah lebih mendalam khususnya apabila dihubungkan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung, sudah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat (1) berbunyi:

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindka pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”[80]

Hal serupa dapat ditemukan pula dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Pasal 19 ayat (3), Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pPasal 4 ayat (1), Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

BAB VIII

SISTEM SANKSI PIDANA KORPORASI

Masalah pokok yang kedua dalam menggunakan sarana penal untuk menanggulangi kejahatan korporasi adalah memilih dan menetapkan sanksi pidana apa yang tepat untuk korporasi yang melakukan kejahatan. Masalah ini termasuk politik dan kebijakan kriminal. Memilih dan menetapkan pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan korporasi tentu harus memperhitungkan faktor-faktor yang mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan, termasuk motif-motif kejahatan korporasi yang bersifat ekonomis.[81]

Dengan diterimanya korporasi sebagai subyek tindak pidana, maka pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi harus sesuai dengan sifat korporasi yang bersangkutan. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system) dalam pemidanaan, dalam arti disamping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Namun demikian tetap harus diingat bahwa dampak yang ingin dicapai dalam pemberian sanksi terhadap korporasi tersebut tidak hanya yang mempunyai financial impacts tetapi juga mempunyai nonfinancial impacts. Karena itu dapat dikemukakan bahwa pidana mati, pidana penjara, dan pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan pada korporasi. Sanksi yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda, pidana tambahan, tindakan tata tertib, tindakan administratif dan sanksi keperdaataan berupa ganti kerugian.[82]

Clinard dan Yeager[83] mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan pada korporasi. Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka lebih baik sanksi perdatalah yang digunakan. Kriteria tersebut adalah:

  1. The degree of loss to the public (derajat kerugian terhadap public).
  2. The lever of complicity by high corporate managers (tingkat keterlibatan oleh jajaran manager korporasi).
  3. The duration of the violation (lamanya penlanggaran).
  4. The frequency of the violation by the corporation (frekuensi pelanggaran oleh korporasi).
  5. Evidence of intent to violate (alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran).
  6. Evidence of extortion, as in bribery cases (alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus-kasus suap).
  7. The degree of notoriety engendered by the media (derajat pengetahuan public tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media).
  8. Precedent in law (jurisprudensi).
  9. The history of serious, violation by the corporation (riwayat pelangaran-pelanggaran serius oleh korporasi).
  10. Deterrence potential (kemungkinan pencegahan).
  11. The degree of cooperation evinced by the corporation (derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).

Menurut penulis, apabila tindak pidana yang dilakukan korporasi sangat berat, maka di berbagai negara hendaklah dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi, sebab dampak yang akan dicapai tidak hanya korporasi yang memmiliki financial impacts, tetapi juga memiliki non financial impacts.

Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsure pencelaan, buka pada ada tidaknya unsure penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.[84] Begitu juga subjek hukum yang akan dipertanggungjawabkan secara pidana, tidak dapat dipisahkan dengan masalah penetapan jenis sanksi yang akan dkenakan terhadapnya. Sebagai missal, pemidanaan untuk kejahatan korporasi (corporate crime) tidaklah cukup dengan menetapkan jenis sanksi pidana saja, karena kurang relevan dengan sifat korporasi itu sendiri sebagai subjek hukum pidana. Sehubungan dengan sanksi apakah yang tepat dan dapat dikenakan terhadap korporasi, Sudarto menyatakan bahwa untuk korporasi yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana pokok denda dan pidana tambahan serta sejumlah (sanksi, pen.) tindakan.[85]

Masih terkait dengan masalah stelsel sanksi yang dapat diterapkan untuk korporasi, Suprapto[86] dalam disertasinya menyatakan hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan (korporasi, pen.) adalah :

  1. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
  2. Pencabutan seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;
  3. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan selama waktu tertentu.

BAB IX

PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI DALAM PERSPEKTIF

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Pada awal studi white collar crime, perhatian lebih terfokus pada kejahatan yang dilakukan oleh individu, sedangkan perhatian terhadap kejahatan kroporasi masih kurang, akan tetapi dalam perkembangannya telah terjadi perubahan.[87] Hal ini dikarenakan banyaknya korban dari kejahatan korporasi, karena itu dilakukan upaya penanggulangan kejahatan korporasi dengan sarana penal. Menurut Sudarto, dalam kaitannya dengan penggunaan hukum pidana, selanjutnya Sudarto mengemukakan bahwa “apabila hukum pidana hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau social defence planning yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.[88]

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menetapkan dan merumuskan suatu jenis sanksi yang tepat dalam rangka penanggulangan kejahatan, mengingat perkembangan kejahatan terus meningkat demikian juga pelaku dan modus operandinya. Pelaku tidak hanya orang perseorangan tetapi juga perkumpulan/korporasi. Penetapan dan perumusan sanksi yang tepat akan memberikan rasa keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat. Tindak pidana yang dilakukan orang perorang tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh korporasi.

Dewasa ini perkembangan perekonomian semakin pesat dan korporasi menunjukkan peran yang sangat penting sebagai pelaku ekonomi, sehingga memberikan andil yang sangat besar dalam mecapai kemajua ekonomi. Di sisi lain dalam perkembangannya perilaku-perilaku korporasi dalam kegiatan ekonomi juga diwarnai dengan penyimpangan-penyimpangan hukum. Justru penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh korporasi ini mempunyai akibat yang lebih besar dibandingkan dengan yang dilakukan oleh “manusia alamiah”. Krisis ekonomi yang berkepanjangan melanda Indonesia merupakan salah satu akibat dari perilaku korporasi.

Kasus-kasus pencemaran lingkungan, “penyedap rasa”, dan BLBI, hanyalah beberapa kejahatan korporasi yang terangkat ke permukaan, dan yang tidak Nampak akan jauh lebih besar. Secara garis besar kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi meliputi:[89]

  1. Kerugian dibidang ekonomi

Meskipun sulit untuk menngukur “secara tepat” jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, terutama tidak adanya badan yang secara khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi, berbeda dengan “kejahatan warungan” yaitu kepolisian namun berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi luar biasa besarnya, khususnya jika dibandingkan dengan “kejahatan warungan” seperti perampokan, pencurian, penipuan.

  1. Kerugian dibidang kesehatan dan keselamatan jiwa

Risiko kematian, cacat dan risiko lainnya yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korpban korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi.

  1. Kerugian dibidang sosial dan moral

Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan korporasi adalah kerugian dibidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pelaku bisnis. Kemudian kerugian lain adalah kejahatan korporasi merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat pemerintahan yang tidak demokratis dan hanya menguntungkan kelompok/korporasi tertentu.

Pengaruh globalisasi dan era perdagangan bebas menuntut adanya pembaharuan hukum pidana mengenai korporasi. Sebelumnya memang hanya dikenal pandangan bahwa hanya manusia alamiah yang dapat melakukan tindak pidana. KUHP yang merupakan sumber utama hukum pidana hanya mengenal manusia alamiah subyek tindak pidana. Pasal-pasal dalam KUHP hanya dapat dikenakan pada manusia alamiah bukan korporasi. Hal ini dapat dilihat dari alasan antara lain:

  1. Perumusan tindak pidana diawali dengan kata “Barang siapa”;
  2. Jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 hanya dapat dikenakan untuk manusia alamiah;
  3. MvT dalam penjelasan Pasal 59 menyatakan bahwa “Suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”.

Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai subyek hukum dan diperlakukan “sama” dengan subyek hukum yang lain yaitu manusia alamiah. Dengan demikian korporasi dapat bertindak seperti manusia pada umumnya. Mengingat kerugian yang ditimbulkan korporasi jauh lebih besar maka perlu langkah-langkah sebagai upaya penanggulangan kejahatan korporasi. Pendayagunaan hukum pidana menjadi harapan sebagai salah satu upaya yang penting dalam penanggulangan kejahatan korporasi. Beranjak dari pemikiran tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimanakah penanggulangan kejahatan korporasi dalam perspektif kebijakan hukum pidana?

Penanggulangan kejahatan merupakan masalah pelik yang dihadapi setiap negara. Kejahatan muncul dan berkembang seiring perkembangan kemajuan masyarakat. Berbagai upaya dilakukan dilakukan setiap negara untuk mengatasi munculnya kejahatan bahkan bila mungkin dihilangkan. Mengingat betapa pentingnya masalah penanggulangan kejahatan, Perserikatan Bangsa-Bangsa beberapa kali mengadakan pertemuan sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Adapun strategi kebijakan penanggulangan dan pencegahan kejahatan menurut kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:[90]

  1. Strategi atau dasar penanggulangan kejahatan adalah meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan kejahatan;
  2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik (jangan simplistik dan fragmentair).
  3. Kejahatan-kejahatan yang mendapat perhatian konggres PBB untuk ditanggulangi, meliputi, antara lain:
  4. Economic crime; crime as business; economic abuses;
  5. Corruption; corrupt activities of public official;
  6. Illicit trafficking in drugs;
  7. Money laundering;
  8. Violent crime; domestic violence;
  9. Organized crime; terrorism; apartheid;
  10. Environmental crime;
  11. Industrial crime;
  12. Cyber crime (computer crime; computer related crime);
  13. Urban crime;
  14. Juvenile crime; instrumental use of children in criminal activities;
  15. Transnational/international crime;
  16. Crime against cultural property; (cultural heritage);
  17. Racism (religious/racial crime and all its from);
  18. Xenophobia; intolerance; discrimination.
  19. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum;
  20. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/data;
  21. Disusun beberapa pedoman seperti Standard Minimum Rules (SMR);
  22. Ditingkatkan kerjasama internasional (International Cooperation) dan bantuan teknis (technical assistance).

Di Indonesia, pembahasan mengenai penanggulangan kejahatan korporasi baru dimulai beberapa dekade terakhir ini. Hal ini diakibatkan karena pelaku kejahatan mengalami perkembangan, yang semula hanya dikenal “orang” (manusia alamiah) sebagai pelaku, seperti yang diatur dalam KUHP. Namun dengan adanya pelaku kejahatan yang bukan manusia alamiah, yaitu korporasi atau badan usaha tertentu, hukum pidana dituntut untuk dapat menanggulangi kejahatan tersebut. Selama ini di Indonesia peninjauan masalah kejahatan korporasi dipandang sangat lemah mengingat hukum pidana yang terbatas, lemah dan kurang menjangkau kepada kejahatan korporasi.[91]

Penanganan kejahatan korporasi secara khusus sangat diperlukan, mengingat akibat yang ditimbulkan dalam hal terjadi kejahatan korporasi akan lebih besar dibanding kejahatan yang dilakukan perseorangan/manusia alamiah. Berbeda dengan kejahatan korporasi memiliki beberapa karakteristik yang mengharuskan penanganannya secara serius.

Dengan melihat karakteristik dari kejahatan korporasi (dalam BAB II) ini, maka dapat dibayangkan betapa korban kejahatan korporasi sangat banyak dan cenderung meluas. Secara rinci Steven Box menyebutkan beberapa pihak yang menderita akibat kejahatan korporasi, yaitu:[92]

  1. Perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi tidak sehat dan praktek-praktek monopoli.
  2. Negara (state) sebagai akibat korupsi tindak pidana ekonomi, subversi dan lain-lain.
  3. Karyawan (employees) sebagai akibat lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman serta pengekangan dan pemerkosaan hak.
  4. Konsumen (consumers) sebagai akibat advertensi yang menyesatkan atau produk yang berbahaya.
  5. Masyarakat (public) sebagai akibat pencemaran lingkungan, penggelapan atau penghindaran pajak.
  6. Pemegang saham (shareholders or investors) sebagai akibat penipuan pemalsuan akuntasi.

Kompleksitas masalah yang berkaitan dengan pelaku, korban dan kejahatan dalam kejahatan korporasi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah kebijakan criminal (criminal policy) dalam rangka menanggulangi kejahatan korporasi. Dalam Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Order yang diadopsi oleh Konggres PBB tentang Pencegahan dan Pembinaan Para Pelaku (The Prevention of Crime and The Treatment of Offender) VII di Milan tahun 1985 ditegaskan:

Due considerans should be given by Member to making criminally responsible not only those persons who have acted on behalf on an institutions, corporation or interprise, or who are in a policy making or executive capacity, but also the institutions, corporation or enterprise it self, by devising appropriate measure that would prevent of sanction the furtherance of criminal activities”.

BAB X

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DIINDONESIA

Berikut ini akan dibahas beberapa pengaturan tentang korporasi antara lain dalam Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[93]

  1. Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 selengkapnya adalah mengenai Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang selanjutnya disebut UU TPE. Melihat substansi UU TPE khususnya mengenai jenis-jenis pidana, sebenarnya dapat dikatakan cukup baik karena jenis-jenis sanksi pidana yang disediakan tepat untuk dikenakan para pelaku tindak pidana ekonomi.

Sebenarnya dalam UU TPE tidak ada satu pasalpun yang secara tegas mengatur tentang korporasi, tetapi apabila melihat jenis-jenis pidana yang ada maka dapat dikatakan bahwa UU TPE teleh mengintroduser bahwa Badan Hukum merupakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (1) sub c tentang penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan Pasal 8 tentang tindakan tata tertib yang dapat dikenakan antara lain penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan selama 3 tahun bila tindak pidana ekonomi itu merupakan kejahatan dan 2 tahun jika tindka pidana itu merupakan pelanggaran.

  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Pengertian korporasi disebutkan dalam Pasal 1 ke-13 dengan perumusan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Kejahatan yang dapat dilakukan korporasi menurut undang-undnag ini disebutkan dalam Pasal 59 dan Pasal 70. Selengkapnya Pasal 59 adalah sebagai berikut:

Pasal 59

  • Barang siapa:
  1. Menggunakan pskotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
  2. Memproduksi dan/atau menggunakna dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
  3. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (3); atau
  4. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
  5. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

  • Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidan amati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
  • Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping pidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 70 disebutkan jika tindak pidana-tindak pidana dalam Pasal 60-64 dilakukan oleh korporasi maka disamping pelaku tindak pidana dikenakan pidana, maka korporasi juga dikenakan denda sebesar dua kali lipat pidana denda yang diancamkan dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Tindak pidana-tindka pidana dalam Pasal 60-64 adalah memproduksi, menerima penyaluran, menyerahkan, menerima penyerahan (Pasal 60), mengekspor, mengimpor (Pasal 61), memiliki, menyimpan, membawa (Pasal 62), mengangkut, tidak mencantumkan label, mengiklankan, memusnahkan psikotropika (Pasal 63), menghalang-halangi penderita sindrom ketergantungan untuk menjalani pengobatan dna menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin (Pasal 64).

Dalam pasal-pasal ini tidak ada ketentuan mengenai kapan atau dalam hal bagaimana korporasi telah melakukan tindak pidana dan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Kedua pasal ini Pasal 59 dan Pasal 70 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dapat mengakibatkan kendala dalam proses penegakan hukum pidana.[94]

Adapun sanksi pidana yang dpaat dijatuhkan kepada korporasi dalam hal terjadi tindak pidana menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 adalah:

  1. Korporasi dikenakan pidana denda sebesar 5 miliar rupiah (Pasal 59).
  2. Korporasi dikenakan (Pasal 70):
  • Pidana denda dua kali lipat dari pidana yang diancamkan.
  • Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Dari kedua pasal tersebut terlihat adanya perbedaan sistem pemidanaan dalam Pasal 59 ayat (3) dengan Pasal 70. Tidak disebutkan secara jelas mengapa tidak ada pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dalam Pasal 59 ayat (3). Menurut Barda Nawawi Arief ini mencerminkan adanya ketidakkonsistenan dalam sistem pemidanaan. Lebih baik jika pidana tambahan dicantumkan juga dalam Pasal 59 ayat (3) ini.[95]

  1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Pengertian korporasi dirumuskan dalam Pasal 1 ke-21 dengan redaksi “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi menurut undang-undang ini disebutkan dalam Pasal 130, yaitu:

  • Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
  • Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
  1. pencabutan izin usaha; dan/atau
  2. pencabutan status badan hukum.
  1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UUPLH tidak memberikan pengertian secara khusus tentang korporasi. Dalam Pasal 1 ke-24, pengertian korporasi dimasukkan kedalam rumusan orang, yaitu: “ Orang adalah orang-perseorangan, dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum.

Menurut undang-undang ini, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi ancaman pidananya diperberat dengan sepertiga. Pasal 45 UUPLH:

“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana diperberat dengan sepertiga.”

Adapun tindak pidana dalam UUPLH diatur dalam Pasal 41-44, secara garis besar adalah:

  • Perbuatan mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (Pasal 41).
  • Perbuatan mengakibatkan pencemaran dan/atau lingkungan hidup karena kealpaannya (Pasal 42).
  • Sengaja melepaskan atau membuang zat, energy, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk diatas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, memberikaninformasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan perbuatan tersebut (Pasal 43).
  • Karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 (Pasal 44).

Ancaman pidana dalam UUPLH menganut sistem kumulatif, yaitu pidana penjara 3 sampai dengan 15 tahun dan denda berkisar 100 sampai dengan 750 juta rupiah (sebelum diperberat sepertiga jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi). Selain itu berdasarkan Pasal 46 ayat (1) korporasi dapat pula dikenakan tindakan tata tertib. Tindakan tata tertib sebagaimana yang dimaksud Pasal 46, diatur dalam Pasal 47, adalah sebagai berikut:

  1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
  2. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
  3. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
  4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
  5. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
  6. Menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama (3) tahun

Sementara itu tentang siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam UUPLH, diatur dalam Pasal 46. Pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana, pidana dan tindakan dapat dikenakan kepada:

  1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain.
  2. Mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.
  3. Kedua-duanya.

Dengan melihat beberapa hal tentang ketentuan pidana, dalam UUPLH, terlihat adanya kemajuan jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982. Kemajuan tersebut antara lain diaturnya tentang tindakan tata tertib dan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Pengaturan tentang jenis pidana yang tepat untuk korporasi dalam tindak pidana dibidang lingkungan hidup akan membantu dalam proses penegakan hukum.

Mengenai Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, Muladi mengatakan bahwa pertanggungjawaban korporasi sudah dikenal, walaupun dari segi legislative drafting kurang baik. Hal ini Nampak dari pencantumannya yang hanya ditempatkan dalam penjelasan Pasal 5 undang-undang tersebut. Disamping itu pengaturannya terlalu sederhana, yang seringkali menimbulkan penafsiran.

  1. Undang-Undang No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut UUP tidak secara khusus mengatur tentang pengertian korporasi, tetapi dalam UUP diakui subyek tindak pidana berupa “korporasi” yang disebut “badan hukum” (Pasal 46 ayat (2)).

Selanjutnya masalah pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka yang dapat dituntut adalah:

  1. Yang memberi perintah melakukan perbuatan.
  2. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu.
  3. Kedua-duanya.

Melihat ketentuan Pasal 46 ayat (2) tersebt diatas terlihat bahwa dalam UUP “korporasi” sendiri tidak dapat dituntut pidana. Mengingat perlunya perlindungan korban/masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya corporate crime yang dilakukan oleh bank, maka seyogyanya korporasi dapat dituntut pidana, terutama pada delik perbankan yang diatur dalam Pasal 46 ayat (1) (menghimpun dana masyarakat tanpa izin), atau praktek perbankan lainnya yang sangat merugikan masyarakat dan perekonomian.[96]

  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pengertian korporasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimasukkan dalam lingkup elaku usaha, yang diatur dalam Pasal 1 ke-3:

“Pelaku usaha adalah setiap orang –perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melakukan perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dengan menggunakan satu istilah yaitu “pelaku usaha” yang meliputi perseorangan dan korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka penetapan jenis sanksi pidana dan tindakan pun sama. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 62:

  • Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama (5) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi: pelaku usaha/korporasi, pengurus dan kedua-duanya. Hal ini terlihat dalam Pasal 61. Selain pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 62, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur hukuman tambahan. Pasal 63 mengatur hukuman tambahan sebagai berikut:

  1. Perampasan barang tertentu
  2. Pengumuman putusan hakim
  3. Pembayaran ganti rugi
  4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
  5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
  6. Pencabutan izin usaha
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Subyek tindak pidana dalam undang-undang ini adalah pelaku usaha, yang dapat berupa orang-perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum (Pasal 1 sub 5). Namun ketentuan ini dibatasi oleh Pasal 50 sub (h) dan (i) yang mengecualikan berlakunya ketentuan undang-undang ini, yaitu terhadap:

  1. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.
  2. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Adanya ketentuan yang demikian maka undang-undang ini tidak membedakan antara subyek tindak pidana perseorangan atau badan usaha (korporasi). Padahal sanksi pidana terhadap orang-perseorangan dengan korporasi mempunyai orientasi yang berbeda-beda. Sanksi pidana denda pada undang-undang ini masih berorientasi pada orang perseorangan. Apalagi dikaitkan dengan pidana kurungan pengganti berupa pidana denda. Hanya kepada orang-perseorangan sajalah yang dapat dikenakan pidana kurungan. Dalam pidana denda juga terlihat tidak ada pembedaan antara pelaku perseorangan dengan korporasi. Padahal karakteristik dan efek masing-masing.

Selanjutnya dengan adanya subyek tindak pidana berupa korporasi maka seharusnya sistem pidana dan pertanggungjawaban pidananya berorientasi pada korporasi. Maka dalam undang-undang selayaknya diatur:

  1. Jenis saknsi pidana yang khusus diterapkan pada korporasi;
  2. Kapan dikatakan korporasi dapat melakukan tindak pidana;
  3. Siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan korporasi.

Dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat tindakan administratif yang dapat diorientasikan pada korporasi. Tindakan administratif itu adlah:

  1. Penetapan pembatalan perjanjian.
  2. Perintah menghentikan integrasi vertikal.
  3. Perintah menghentikan kegiatan yang menimbulkan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.
  4. Perintah menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.
  5. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan saham.
  6. Pengenaan denda minimal 1 miliar rupiah dna maksimal 25 miliar rupiah.

Tindakan administrasi tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan tidak terintegrasi dalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi, artinya sanksi itu tidak merupakan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim sekiranya korporasi melakukan tindak pidana.

Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief[97] berpendapat “sebaiknya jenis sanksi “tindakan administrasi” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem pertanggungjawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955).

  1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UUTPK mengatur korporasi sebagai sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana. Menurut Pasal 1 ke-1 UUTPK, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 ke-3 juga dipertegas bahwa setiap orang adalah orang-perseorangan atau termasuk korporasi.

Menurut Barda Nawawi Arief,[98] dengan dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan) sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini harus ada ketentuan khusus mengenai:

  1. Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;
  2. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
  3. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan
  4. Jenis-jenis sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Dalam UUTPK, korporasi melakukan tindka pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkunag korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (Pasal 20 ayat (2)). Sedangkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan , UUTPK mengatur dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. UUTPK tidak menyebutkan secara khusus dan rinci mengenai dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, tetapi diintegrasikan dalam Pasal 20 ayat (1) diatas. Mengenai sanksi pidana yang diancamkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7) adalah pidana denda yang diperberat. Selengkapnya klausula Pasal 20 ayat (7) adalah: “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya berupa pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga.”

Namun demikian disamping pidana denda, pidana tambahan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) dapat juga dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-tidaknya dijadikan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan secara mandiri. Permasalahannya adalah tidak ada ketentuan khusus mengenai dapat dijatuhkannya pidana tambahan kepada korporasi. Bahkan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (7).

Pidana tambahan menurut Pasal 18 ayat (1) UUTPK, selain pidana tambahan sebagaimana dalam KUHP adalah:

  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindka pidana korupsi.
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk aling lama satu tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut UU TPPU, pada dasarnya adalah mengatur tentang upaya-upaya menyembunyikan atau menyamarkan dengan berbagai cara tentang asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu kejahatan.

Dalam UU TPPU diatur dua jenis tindak pidana yaitu tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Pasal 3, 4, 5,6, dan 7 yang ancaman pidananya adalah paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 5 miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah. Selanjutnya tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang Pasal 8, 9, 10, dan 11. Ancaman pidana untuk tindak pidana ini adalah denda 250 juta rupiah untuk Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang dengan sengaja tidak melaporkan pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan pidana denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 300 juta rupiah bagi setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai sejumah 100 juta rupiah atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Indonesia. Kedua jenis tindak pidana tersebut merupakan kejahatan.

Pengertian korporasi disebutkan dalam Pasal 1 ke-2 dengan perumusan sebagai berikut: “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi dalam UUTPPU adalah semua pasal mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, mengingat dalam Pasal 1 ke-1 disebutkan bahwa: “setiap orang adalah perseorangan atau korporasi.”

 

BAB XI

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan mengenai delik korporasi tersebut diatas, dapat dimpulkan sebagai berikut:

  1. Kejahatan korporasi atau delik korporasi adalah tindakan-tindakan korporasi yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi, yang berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of power)
  2. Dengan diterimanya korporasi sebagai subyek tindak pidana, maka pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi harus sesuai dengan sifat korporasi yang bersangkutan. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system) dalam pemidanaan, dalam arti disamping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

 

  1. SARAN

Penulis sejalan dengan pendapat Bismar Siregar[99] yang menyimpulkan bahwa:

  1. Dengan pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat,perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dan landasan yang solid dalam hukum untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Dalam berbagai harus terdapat pengaturan menyangkut pertanggungjawaban ini.
  2. Selain itu, diperlukan perhatian studi yang lebih mendalam, baik di kalangan akademis, professional maupun aparat penegak hukum, guna membangun suatu kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, Koran

Amrullah, M. Arief, Kejahatan Korporai, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Sistem Pemidanaan dalam Perbankan, Makalah pada Clloquium penyususnan Naskah Akademik dan RUU Perbankan, UNDIP-BI, Semarang, 2002.

Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Clinard, Marshall, B. dan Peter C. Yeager, 1983, Corporate Crime, The Free Press, New York.

Muladi dan Dwija Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Bandung.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah, Disajikan dalam Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Tanggal 23-24 Nopember 1989, Semarang. Bandingkan pula dengan Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock, London, 1983.

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Priyatno, Dwidja, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004.

R., Al Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan , Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, ALUMNI – Bandung, 2001.

Reksodiputro, Mardjono, Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di Surabaya, tanggal 28 Oktober 1988.

Sahetapy, J.E, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994.

Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, tanggal 8-23 Nopember 1993.

Separovic, Zvonimir Paul, Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1987.

Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995.

Susanto, I.S., Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.

Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, 1999.

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Suheryadi, Bambang, Penanggulangan Kejahatan Korporasi dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Yuridika, Vol. 18, No. 1, Januari-Pebruari 2003.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Kompas, Sabtu 7 April 1990 dalam Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum UNAIR No. 2 Tahun IX Maret-April 1994.

Internet

Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, tanpa tahun, http://google.com, diakses Senin, 28-3-2011, pk. 08.30 wib.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

[1] Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, hlm. 12

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, Free Press, New York, 1983, hlm. 16

[5] Ibid., hlm. 17

[6] Ibid., hlm. 18

[7] Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah, Disajikan dalam Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Tanggal 23-24 Nopember 1989, Semarang. Bandingkan pula dengan Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock, London, 1983, hlm. 22

[8] J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, tanggal 8-23 Nopember 1993, hlm. 3. Dalam makalah ini juga dikemukakan beberapa perbedaan penamaan yang intinya mempunyai kesamaan pengertian, yaitu kejahatan korporasi.

[9] Ibid. hlm. 25

[10] Ibid.

[11] Ibid. hlm. 26

[12] Zvonimir Paul Separovic, Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985, hlm. 23

[13] Ibid., hlm. 8

[14] Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, op. cit., hlm. 7

[15] Steven Box, Deviance, Reality and Society, Holt, Rinehart and Winston, London, 1971, hlm. 57 dst. Dalam hal ini lihat pula Mardjono Reksodiputro, Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di Surabaya, tanggal 28 Oktober 1988.

[16] Kompas, Sabtu 7 April 1990 dalam Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum UNAIR No. 2 Tahun IX Maret-April 1994, hlm. 39

[17] Kompas, Kamis 5 April 1990, ibid., hlm. 39

[18] Kompas, 9 Juni 1990, ibid., hlm. 39

[19] Kompas, 7 Juni 1990, ibid., hlm. 39

[20] Kompas, 4 Juni 1990, ibid,. hlm. 39

[21] Kompas, 5 Juni 1990, ibid,. hlm. 39

[22] Kompas, 8 Juni 1990, ibid,. hlm. 39

[23] Jawa Pos, 29 April 1993, ibid., hlm. 39-40

[24] Jawa Pos, 1 Mei 1993, ibid., hlm. 40

[25] Jawa Pos, 2 Mei 1993, ibid., hlm. 40

[26] Jawa Pos, 3 Mei 1993, ibid., hlm. 40

[27] Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, op.cit., hlm. 5

[28] Steven Box I, op. cit., hlm. 17

[29] Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, op.cit., hlm. 17

[30] J.E. Sahetapy, op.cit., hlm. 11

[31] Steven Box I, op.cit., hlm. 61

[32] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 16-17

[33] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 17

[34] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 17

[35] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 18

[36] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 18-19

[37] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 18-19

[38] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 18-19

[39] Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, STHB, Bandung, 1991, hlm. 20

[40] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 22-23

[41] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 23

[42] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 24-26

[43] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 26-27

[44] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 27-29

[45] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 160

[46] I.S. Susanto , Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 83

[47] Muladi, 1997, op.cit., hlm. 160

[48] Penjelasan Pasal 31 RUU KUHP 1999-2000, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 30

[49] Ibid., hlm 30

[50] Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 43

[51] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 31

[52] Penjelasan RKUHP 1999-2000, Pasal 32 ayat (2), Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 49

[53] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 52

[54] Edi Yunara, 2005, op.cit., hlm. 43

[55] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 101

[56] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 102

[57] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 103

[58] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 103

[59] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 104

[60] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 93

[61] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 106

[62] Sudarto, 1987, op.cit., hlm. 102

[63] Smidt, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 107

[64] Muladi & Priyatna, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 109

[65] Muladi & Priyatna, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 109

[66] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 113-114

[67] Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 154

[68] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 89

[69] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 100

[70] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 101

[71] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 105-106

[72] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 107-108

[73] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 108

[74] Romli Atmasasmita, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 114

[75] Al Rido R., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan , Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, ALUMNI – Bandung, 2001, hlm. 7-8

[76] Munir Fuady, dalam Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 54

[77] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 54

[78] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 55-56

[79] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 56

[80] Dwidja Prayitno, 2004, op.cit., hlm. 58

[81] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 139

[82] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 125

[83] Dwidja Priyatno, 2004, op.cit., hlm. 118

[84] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 33

[85] Ibid., hlm, 172-173

[86] Ibid., hlm. 173

[87] M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporai, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 48

[88] Sudarto, 1987, op.cit., hlm. 59

[89] I.S. Susanto, 1995, op.cit, hlm. 23-24

[90] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 77-81

[91] I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, 1999, hlm. 4

[92] Steven Box, op.cit., hlm. 64. Lihat pula Muladi, op.cit., hlm. 170

[93] Bambang Suheryadi, Penanggulangan Kejahatan Korporasi dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Yuridika, Vol. 18, No. 1, Januari-Pebruari 2003, hlm. 86-96

[94] Barda Nawawi Arief, 2001, op.cit., hlm. 204

[95] Ibid., hlm. 206

[96] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Sistem Pemidanaan dalam Perbankan, Makalah pada Clloquium penyususnan Naskah Akademik dan RUU Perbankan, UNDIP-BI, Semarang, 2002, hlm. 6

[97] Bambang Suheryadi, Op.cit., hlm. 94

[98] Bambang Suheryadi, Op.cit., hlm. 95

[99] Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, tanpa tahun, http://google.com, diakses Senin, 28-3-2011, pk. 08.30 wib.

Satu pemikiran pada “TINDAK PIDANA KORPORASI

  1. Bagaimana ius constuendum pengaturan tanggung jawab pidana korporasi dalam hukum pidana khususnya dalam KUHP. Sekadar catatan pidana denda tidak relevan dengan perlindungan korban kejahatan korporasi terutama criminal enterprise. Hakikat denda adalah hukuman yang mewajibkan terpidana (korporasi) membayarsetorkan sejumlah uang ke kas negara.

    Suka

Tinggalkan komentar